Helena Eva Fitria Pairunan
Sabtu, 19 November 2016
Rabu, 31 Agustus 2016
Pentingnya Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya di Kabupaten Sigi
Pentingnya Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya di Kabupaten Sigi”
Indonesia
adalah Negara yang tercatat cukup besar mengirim Tenaga Kerja/Buruh Migran ke
luar Negeri untuk bekerja pada sektor Formal dan Non Formal. Data Kementrian
Tenaga Kerja Indonesia tahun 2016 mencatat saat ini sekitar 6.198.816 orang
tenaga kerja asal Indonesia berada di luar Negeri. terdapat 133.048 orang
Pekerja Migran/TKI/TKW yang telah
ditempatkan di Negara tujuan mereka bekerja, terdiri dari 70.871 Pekerja
Migran/TKI/TKW untuk sektor Formal dan sebanyak 62.177 orang Pekerja Migran/TKI/TKW di sektor
Informal, dimana jumlah Tenaga Kerja asal Indonesia tersebut di dominasi oleh
Pekerja Migran Perempuan sebanyak 84.014 orang
sedangkan Tenaga kerja laki-laki tercatat 49.034 orang (PUSLITFO
BNP2TKI, 2016).
Tingginya minat dan kemauan tersebut untuk lebih memilih
bekerja di luar negeri menjadi Buruh Migran atau Tenaga Kerja Indonesia menjadi sebuah fenomena yang kerap kita jumpai
di beberapa wilayah/daerah di Indonesia tanpa terkecuali baik perempuan maupun
laki-laki hingga saat ini termasuk di
Wilayah Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah yang merupakan kantong buruh
migran terbesar di Sulawesi Tengah.
Selama tahun 2014- 2016 Solidaritas Perempuan Palu
Intens melakukan pendampingan bersama Perempuan Mantan Buruh Migran, Keluarga
Buruh Migran dan Perempuan Calon Buruh Migran di Wilayah Kabupaten Sigi. Selama
kurun waktu tersebut, SP-Palu juga mendampingi kasus tercatat 20 kasus non litigasi dan 1 kasus Litigasi
diwilayah Kabupaten Sigi, antara lain yang berasal dari desa Kalukubula, Desa
Kabobona, Desa Kotarindau, Desa Tulo, Desa Lambara, Desa Pakuli, Desa Toro dan
Desa Baliase. Beberapa jenis kasus pelanggaran Hak yang dilaporkan oleh korban
maupun keluarga korban antara lain ; Eksploitasi seperti upah di bawah standar,
gaji tak dibayar, Penipuan yang dilakukan Calo/Sponsor, tidak ada waktu libur
dan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan perbudakan, kekerasa
Fisik/Psikis/seksual, Meninggal di Negara tempat korban bekerja, dan indikasi
menjadi korban Trafficking. Situasi pelanggaran hak yang dialami oleh PBM dan
keluarganya sudah terjadi mulai dari Pra
Pemberangkatan, di tempat Penampungan, di Negara tempat mereka bekerja bahkan
ketika mereka kembali ke kampung halaman. Namun, Jika di lihat Jumlah
pemberangkatan dibeberapa Desa yang ada di Kabupaten Sigi masih cukup tinggi,
khususnya Desa Lambara terdapat 90 mantan PBM dan masih bekerja di luar negeri
(Paralegal desa Lambara, 2015), 20 orang PBM Desa Pakuli yang sedang bekerja di
luar negeri (wawancara dengan kepala desa,21/07/2016). Diwilayah Kecamatan Kulawi
kususnya desa Namo, Bolapapu dan Mataue
terdapat 11 orang mantan PBM dan yang masih berada dinegara tujuan ( Data
asesment SP Palu 21/05/2016), Desa Rarapadende setiap
tahunnya sedikitnya berangkat 10 orang untuk pergi bekerja keluar negeri (wawancara
dengan kepala desa Raranpadende, 29/02/2016).
Pada umumnya latarbelakang perempuan di beberapa
tempat memilih untuk berangkat ke luar
negeri dengan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) disebabkan karena
tidak mempunyai lahan/tanah untuk diolah,adanya eksploitasi dan monopoli
kepemilikan lahan serta pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang menyebabkan
semakin hilangnya akses perempuan terhadap pengelolaan sumber daya alamnya, tidak
tersedianya lapangan pekerjaan, minimnya SDM, factor ekonomi untuk
mempertahankan hidup dan mencukupi ekonomi keluarga, iming-iming gaji besar
dari calo atau sponsor sampai pada alasan karena perempuan kerap menjadi korban
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga/keluarga mereka.
Meski sudah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990
tentang Hak-hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran
90), namun hak-hak BMP dan keluarganya tetap tidak dijamin di dalam UU yang
mengatur proses migrasi tenaga kerja itu sendiri. Hingga saat ini, sistem
migrasi tenaga kerja di Indonesia diatur di dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN)
yang sarat dengan komoditisasi Buruh Migran dimana kebijakan ini dinilai masih
lemah karena lebih banyak mengatur terkait penempatan saja dari pada
Perlindungannya.
Tidak
adanya pengakuan dan perlindungan bagi PRT adalah cermin cara pandang
pemerintah yang meminggirkan hak-hak PRT. Hingga saat ini, tidak ada satu pun
payung hukum dalam bentuk Undang-undang yang secara spesifik menjamin hak-hak
Pekerja Rumah Tangga. Proses penyusunan UU Perlindungan PRT sudah menginjak
usia ke 11, namun belum terlihat perkembangan signifikan di dalam pembahasannya
serta Lemahnya Sistem Migrasi yang
dimiliki Indonesia menyebabkan Buruh Migran selalu berada di poisisi rentan
terhadap kekerasan, Pelanggaran Hak
bahkan Korban Trafficking.
Langganan:
Postingan (Atom)