Rabu, 31 Agustus 2016

Pentingnya Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya di Kabupaten Sigi





Pentingnya Mendorong Kebijakan Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya di Kabupaten Sigi

Indonesia adalah Negara yang tercatat cukup besar mengirim Tenaga Kerja/Buruh Migran ke luar Negeri untuk bekerja pada sektor Formal dan Non Formal. Data Kementrian Tenaga Kerja Indonesia tahun 2016 mencatat saat ini sekitar 6.198.816 orang tenaga kerja asal Indonesia berada di luar Negeri. terdapat 133.048 orang Pekerja Migran/TKI/TKW  yang telah ditempatkan di Negara tujuan mereka bekerja, terdiri dari 70.871 Pekerja Migran/TKI/TKW untuk sektor Formal dan sebanyak  62.177 orang Pekerja Migran/TKI/TKW di sektor Informal, dimana jumlah Tenaga Kerja asal Indonesia tersebut di dominasi oleh Pekerja Migran Perempuan sebanyak 84.014 orang  sedangkan Tenaga kerja laki-laki tercatat 49.034 orang (PUSLITFO BNP2TKI, 2016).



Tingginya minat dan kemauan tersebut untuk lebih memilih bekerja di luar negeri menjadi Buruh Migran atau Tenaga Kerja Indonesia  menjadi sebuah fenomena yang kerap kita jumpai di beberapa wilayah/daerah di Indonesia tanpa terkecuali baik perempuan maupun laki-laki  hingga saat ini termasuk di Wilayah Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah yang merupakan kantong buruh migran terbesar di Sulawesi Tengah.



Selama tahun 2014- 2016 Solidaritas Perempuan Palu Intens melakukan pendampingan bersama Perempuan Mantan Buruh Migran, Keluarga Buruh Migran dan Perempuan Calon Buruh Migran di Wilayah Kabupaten Sigi. Selama kurun waktu tersebut, SP-Palu juga mendampingi kasus tercatat  20 kasus non litigasi dan 1 kasus Litigasi diwilayah Kabupaten Sigi, antara lain yang berasal dari desa Kalukubula, Desa Kabobona, Desa Kotarindau, Desa Tulo, Desa Lambara, Desa Pakuli, Desa Toro dan Desa Baliase. Beberapa jenis kasus pelanggaran Hak yang dilaporkan oleh korban maupun keluarga korban antara lain ; Eksploitasi seperti upah di bawah standar, gaji tak dibayar, Penipuan yang dilakukan Calo/Sponsor, tidak ada waktu libur dan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan perbudakan, kekerasa Fisik/Psikis/seksual, Meninggal di Negara tempat korban bekerja, dan indikasi menjadi korban Trafficking. Situasi pelanggaran hak yang dialami oleh PBM dan keluarganya sudah terjadi  mulai dari Pra Pemberangkatan, di tempat Penampungan, di Negara tempat mereka bekerja bahkan ketika mereka kembali ke kampung halaman. Namun, Jika di lihat Jumlah pemberangkatan dibeberapa Desa yang ada di Kabupaten Sigi masih cukup tinggi, khususnya Desa Lambara terdapat 90 mantan PBM dan masih bekerja di luar negeri (Paralegal desa Lambara, 2015), 20 orang PBM Desa Pakuli yang sedang bekerja di luar negeri (wawancara dengan kepala desa,21/07/2016). Diwilayah Kecamatan Kulawi kususnya desa  Namo, Bolapapu dan Mataue terdapat 11 orang mantan PBM dan yang masih berada dinegara tujuan ( Data asesment SP Palu 21/05/2016), Desa Rarapadende setiap tahunnya sedikitnya berangkat 10 orang untuk pergi bekerja keluar negeri (wawancara dengan kepala desa Raranpadende, 29/02/2016).



Pada umumnya latarbelakang perempuan di beberapa tempat  memilih untuk berangkat ke luar negeri dengan bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) disebabkan karena tidak mempunyai lahan/tanah untuk diolah,adanya eksploitasi dan monopoli kepemilikan lahan serta pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang menyebabkan semakin hilangnya akses perempuan terhadap pengelolaan sumber daya alamnya, tidak tersedianya lapangan pekerjaan, minimnya SDM, factor ekonomi untuk mempertahankan hidup dan mencukupi ekonomi keluarga, iming-iming gaji besar dari calo atau sponsor sampai pada alasan karena perempuan kerap menjadi korban kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga/keluarga mereka.



Meski sudah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Hak-hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 90), namun hak-hak BMP dan keluarganya tetap tidak dijamin di dalam UU yang mengatur proses migrasi tenaga kerja itu sendiri. Hingga saat ini, sistem migrasi tenaga kerja di Indonesia diatur di dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) yang sarat dengan komoditisasi Buruh Migran dimana kebijakan ini dinilai masih lemah karena lebih banyak mengatur terkait penempatan saja dari pada Perlindungannya.


Tidak adanya pengakuan dan perlindungan bagi PRT adalah cermin cara pandang pemerintah yang meminggirkan hak-hak PRT. Hingga saat ini, tidak ada satu pun payung hukum dalam bentuk Undang-undang yang secara spesifik menjamin hak-hak Pekerja Rumah Tangga. Proses penyusunan UU Perlindungan PRT sudah menginjak usia ke 11, namun belum terlihat perkembangan signifikan di dalam pembahasannya serta Lemahnya Sistem Migrasi yang dimiliki Indonesia menyebabkan Buruh Migran selalu berada di poisisi rentan terhadap kekerasan,  Pelanggaran Hak bahkan Korban Trafficking.